SEPASANG MATA masih
mengawasiku. Begitu nyalang. Tatapannya melirik tajam. Bersurukan laiknya
seorang pengintai. Tak pernah terpejam. Tak lengah sepicing pun. Apalagi
berpalis muka. Ada
bara api mengangah pada binar matanya. Bak denyar halilintar. Menyorot merah
padam. Seperti mengungkapkan amarah. Ia memperhatikanku yang berdiri di tepi
jalan raya. Melucuti gerak-gerik yang aku lakukan. Sambil mengerakahi bibir
sendiri, mengungkapkan kemarahannya yang tak bisa disembunyikan.
Bukan hal aneh bagiku. Hampir setiap
hari mata itu menatapku. Ia bukan seorang mata-mata. Aku pun bukan seorang yang
patut diselidiki. Aku hanya seorang pengamen jalanan. Anak kecil berumur
sepuluh tahun, tanpa pernah mengenal bangku pendidikan, pengamen memang cocok
untukku. Sedang ia, seorang preman menyambi penjudi. Tapi sialnya, ia tak
pernah beruntung dalam hal berjudi. Selalu kalah. Bila uang taruhannya habis,
yang dilakukannya hanya merongrong para pengamen. Memalak uang mereka. Digunakannya
untuk kembali taruhan judi kartu. Begitulah pekerjaannya.
Sepasang mata itu milik Bang Jali,
seorang lelaki separuh baya dengan tubuh yang buncit. Perawakannya pendek.
Memiliki tanda gores di wajah, mulai dari pipi hingga melewati mata kirinya.
Terpapar renyuk. Berkerumuk menutupi sebelah pandangannya. Luka rebak itu hasil
sabetan parang, kenang-kenangan setelah perkelahian dengan preman lain.
Lengkaplah sudah kengerianku padanya. Belum lagi tato kepala macan di
punggungnya, sering terlihat bila ia telanjang dada menyombongkan badannya yang
bidang. Ia bergaya rambut cepak seperti tentara. Padahal ia bukan tentara,
meski setiap hari selalu mengenakan pakaian loreng ketat, membuat otot kedua
lengannya yang mengembang terlihat jelas.
Di depan warung nasi milik Bi Inah, ia duduk bertinggung menatapku.
Sebenarnya, sudah beberapa kali petugas Satol PP menyuruh mengosongkan warung
itu. Katanya merusak suasana kota ,
atau mengganggu para pejalan kaki yang melintas, sebab lokasinya sedikit berada
di atas trotoar. Di bawah warung itu mengalir air selokan, biasa digunakan Bi
Inah untuk mencuci piring karena airnya memang tidak terlalu keruh.
“Bila besok ibu tidak mengosongkan tempat ini, maka kami akan
meratakannya dengan tanah. Jangan salahkan kami!” ucap pamong praja yang
berbadan tegap pada Bi Inah beberapa hari lalu.
“Apakah saya tidak punya hak berjualan di kota ini?”
“Bukan begitu, nanti kami akan memberi tempat yang lebih layak disuatu
tempat, tentu lokasinya tidak mengganggu para pejalan kaki. Semacam tukar
beli.”
Namun nyatanya, hingga sekarang,
warung nasi itu tetap berdiri di pinggir jalan. Alasannya sederhana, bila
warung itu dimusnahkan, maka para preman akan melakukan perlawanan. Hingga
titik darah penghabisan. Memang, tempat itu selalu digunakan oleh para preman
untuk berkumpul. Mereka selalu berjudi di bangku kayu depan warung itu. Bukan
hanya para preman saja, pengamen pun bila mendapat penghasilan lebih, mereka
selalu memesanan makan disitu.
Hari ini langit cerah. Terik matahari meyorot panas. Di jalan,
mobil-mobil tak sepenuh biasanya yang merayap macet. Sepertinya orang-orang
malas untuk bepergian. Berkesiur angin merambak mengembuskan debu. Menerpa pada
mata setiap orang. Dan entah berapa lama ia menatapku. Mungkin sejam lebih.
Ketika pagi mulai merangkak berganti siang, ia datang menghampiriku.
Menyunggingkan senyum kecut, “Heh Udin, Sudah berapa duit yang kau dapat hari
ini?” tanyanya padaku. Ah, pertanyaan yang memuakkan. Pastinya uangku akan
dirampas.
“Hari ini aku belum dapat uang Bang.”
“Jangan bohong! Mana uangmu? Aku ingin judi lagi!” bentaknya.
“Beneran Bang, hari ini sepi.”
jawabku.
Sudah seharian aku mengamen di jalan. Tapi baru sedikit uang yang
kudapat. Bukan karena aku malas, melainkan hari ini bukan hari libur. Jalanan
tampak sepi. Jarang sekali ada mobil yang berhenti di stopan lampu merah perempatan jalan Dago, tempat yang biasa aku
gunakan untuk mengamen, dan aku hanya mengamen pada sebuah mobil pribadi yang
berhenti menunggu lampu hijau menyala. Bila mendapat banyak uang pun, hasil
kerja payahku itu, selalu dirampas olehnya dengan dalih, “Ini daerah
kekuasaanku, kalau ingin tetap mengamen disini, uang hasil mengamenmu kita bagi
rata.” Padahal, ia tak pernah ikut mengamen, hanya duduk mengawasi
kami—maksudku, aku dan pengamen lain. Aku tidak bisa melawan meski hati
menggelalar pada kelakuannya.
Ia tetap tidak percaya pada alasanku. Hingga menggeledahi kantong
celanaku. Lalu menemukan setumpuk koin recehan dan beberapa lembar uang ribuan
yang di simpan dalam kantong plastik—bila dihitung berjumlah sepuluh ribu—dan
plaaak… tangannya mendarat di pipiku.
“Seharian mengamen hanya dapat segini? Mana cukup untuk berjudi. Kalau
mau ngamenmu laku, jangan pakai kecrek, pakai alat musik lain seperti gitar, biar
nantinya orang-orang memberi uang buat nyanyian ngamenmu!” katanya menyalak
beringas.
Aku hanya diam tertunduk. Bila di pikir-pikir, tak ada untungnya ia hidup
apabila hanya digunakan untuk bermain kartu dan berjudi bersama kawananya
sesama preman. Ya, selain berjudi, pekerjaannya tak lain seorang pemalak. Maka
kami selalu menyebutnya penyamun anyir. Berotot besar tapi nyali secuil, hanya
berani pada anak kecil.
Lebih parah lagi kelakuannya pada Jupri, teman sebayaku yang berdagang
minuman mineral dan rokok asongan di bus kota. Tiap hari rokoknya ludes, bukan
oleh pembeli, melainkan dipinta paksa si penyamun anyir. Bukan hanya itu saja
yang dipintanya, pernah suatu ketika Jupri diajak ke rumah si penyamun anyir,
sekembalinya Jupri dari tempat itu, ia berjalan dengan keadaan lubang pantat yang
menganga dan berdarah menggenangi belakang celananya.
“Heh, cepet ngamen lagi, biar dapat duit banyak malah bengong!” paksanya
sembari mendorong tubuhku terpelanting ke belakang. Terjatuh. Lalu tercatuk
menatap kosong. Kemudian ia mengeloyor tanpa rasa kasihan.
Kini, mataku yang balik menatapnya lekat-lekat. Menyorot tajam. Tak bisa
ditahan lagi, aku menangis sesenggukan menahan amarah. Bukan tanpa alasan aku
menangis seperti itu, bila ternyata uang hasil mengamenku akan digunakannya
untuk berjudi. Andai saja ia seorang penjudi yang handal, mungkin uangku tidak
akan diambil karena ia banyak uang hasil judinya itu. Ada sebuah pertanyaan muskil, yang suatu
ketika pernah kulontarkan pada teman-temanku. Entah atau apakah doa ini salah
atau tidak: aku berharap ia selalu menang dalam berjudi, supaya nantinya tidak
lagi memalak. Namun jawaban mereka dari pertanyaan itu selalu menggelengkan
kepala, tapi ada sebagian yang setuju.
Kedua mataku bakup sehabis menangis sembari meratap. Andai saja aku tidak
dilahirkan dari seorang keluarga miskin; andai saja aku tidak ditakdirkan
menjadi seorang pengamen; atau andai saja kedua orang tuaku mampu membiayai
sekolahku. Tentu, tentu aku tidak bakalan berada di jalanan. Mmmm… Bukannya aku
seorang anak kecil yang kemaruk terhadap permintaan. Seandainya doaku bisa terkabul,
aku hanya ingin penyamun anyir itu tak lagi menggangguku.
Ah, aku ingat pada kejadian tempo hari, pada sebuah malam yang
mengenaskan. Ternyata bukan hanya Jupri saja yang menjadi korban tindak cabul
si penyamun anyir itu. Ia pun pernah melakukan hal serupa padaku. Mulanya ia
bertindak baik dengan mengatakan akan mengantarku pulang setelah seharian
mengamen, katanya takut kelelahan. Kebetulan lokasi rumahku lumayan jauh dari
perempatan jalan Dago. Ketika itu aku dibonceng dengan motor RX King. Aku
berpikir, ternyata ia bisa juga berbuat baik. Ups… penilaian baik dariku itu
hanya sebentar. Seperti sudah direncanakannya dari awal, atau semacam tipu
muslihat, ia membelokan motornya ke suatu tempat gelap, mengajakku melesap pada
sebuah semak.
Oh… apa hendak di kata, terpaksa aku pulang dengan berjalan kaki
merasakan pantat yang perih. Apa sebab? Setelah si penyamun anyir melakukan
pencabulan di semak itu, ia tak jadi mengantarku pulang, malah menelantarkanku
tanpa rasa kasihan.
Hingga sekarang, kejadian itu masih merumrum ingatanku, berkecamuk
mencambuk-cambuk hatiku.
***
SIANG masih
tetap panas. Matahari bulat seperti kancing baju. Semilir angin seolah menarik
cuping telingaku. Tiba-tiba saja dari arah warung nasi Bi Inah, aku mendengar sekerumunan
orang berteriak menyambat apa saja yang diingatnya. Ada apa? Tanyaku pada seseorang ketika aku
menyeruak kerumunan itu. Belum sempat orang itu menjawab, aku melihat serombongan
pamong praja sedang mengobrak-ngabrik warung nasi Bi Inah.
Penggusuran... pikirku. Tanpa rasa ampun, warung nasi yang terbuat dari
bilik bambu itu hampir hancur luluh lantak. Para
preman berdatangan mencoba melawan. Pengamen hanya bisa mengutuk tindak-tanduk
pamong praja itu yang dianggapnya biadab. Tak lama setelah itu, seseorang keluar
dari dalam warung. Bi Inah… teriakku. Tanpa segan ia membuka bajunya, telanjang
bulat menghadang pamong praja dengan dada yang menantang.
“Apa-apaan ini? Hal itu tidak bisa mengubah niat kami!” tegas seorang
pamong praja pada Bi Inah. “Kami sudah bilang dari dulu, ibu harus mengosongkan
tempat ini!” lanjutnya.
“Tapi tempat ini sudah lama saya tempati!” jawab Bi Inah.
Bagi aku yang berumur sepuluh tahun,
aku masih belum bisa menentukan siapa yang salah mengenai peristiwa ini. Apakah
Bi Inah yang berjualan di pinggir jalan, atau para pamong praja yang menghancurkan
warungnya?
Usaha Bi Inah untuk mencegah orang-orang yang meenghancurkan warungnya ternyata
sia-sia. Meski ia telah melakukan hal yang nekat, atau lebih tepatnya sangat ekstrim, mereka seperti tak peduli. Seluruh
pamong praja terus mencoba menghancurkan warung itu. Entah dengan cara
mendorong-dorong, memukul dengan martil, melempar batu, atau menginjaknya.
Namun tiba-tiba saja, dari arah lain, aku melihat salah seorang pamong
praja tergeletak bersimbah darah. Apa sebab? Ketika sedang mengobrak-ngabrik
warung itu, si penyamun anyir datang dan
memukul kepalanya dengan balok kayu. Setelah itu, si penyamun anyir ditangkap
dan digiring ke tempat rehabilitasi.
Entahlah. Aku tidak ikut sedih dalam persoalan ini. Mungkin saja bila
warung itu musnah, para preman tak mempunyai tempat lagi untuk berjudi, dan si
penyamun anyir tak akan datang lagi untuk mengawasiku.
Bandung,
Desember 2011
No comments:
Post a Comment