Penjagal Mayat

Mayat itu tanpa kepala. Terbaring kaku semacam pohon pualam yang ditebang seseorang. Entah siapa yang tega menggorok lehernya, lalu mengambil kepalanya entah kemana. Dari kerongkongannya mengucur darah. Kain kafannya menjadi merah. Seolah mayat itu belum lama digorok dari liang lahat. Padahal, baru pagi tadi jenazahnya dikebumikan dengan tubuh yang sempurna. Namun ketika malam tiba, seorang penggali kubur melihat tanah pekuburannya menjadi berantakan, seperti telah digali seseorang dengan sangat tergesa. Seantero pemakaman mendadak dibanjiri manusia. Mereka penasaran ingin melihat dengan mata kepala sendiri keadaan mayat itu.

“Sungguh biadab!” rutuk Mbah Darto, kakek dari mayat itu yang bernama Tole. “Tole.. Tole.. Malang sekali nasibmu nak.” lanjutnya dengan jerit yang membelah langit.

Langit sedikit berkarat. Malam begitu dingin. Bulan purnama melotot manyaksikan kerumunan orang-orang di pemakaman. Mereka saling sikut, saling senggol, saling dorong memaksa menyeruak masuk kerumunan untuk melihat mayat itu. Berbeda dengan Mbah Darto yang tak tahan melihatnya (Ah, bagaimana bisa ia berlama-lama menyaksikan kondisi cucu kesayangannya yang mengenaskan: tubuh anak kecil tanpa kepala).

Dengan susah payah Mbah Darto pun keluar dari kerumunan. Sepertinya tak ada yang peduli pada kesedihan yang menghujam batinnya. Semua orang hanya terfokus pada satu tanah pekuburan dengan rasa penasaran. Sedangkan Mbah Darto, megap-megap menahan amarah yang hendak tumpah, kemudian tertunduk sendirian merapatkan punggung pada pohon kenanga sambil meremas rambut yang telah beruban. Mungkin hanya itu yang bisa dilakukannya sebagai rasa kekesalan entah pada siapa. Mbah Darto tak tahu siapa gerangan bangsat yang tak punya hati mengambil kepala cucunya itu. Ia hanya menatap nanar pada lingkup kerumunan, lalu dari balik matanya mengalir sungai. Semakin lama semakin deras.

Tak lama setelah itu, Lik Muji―ayah dari mayat itu―menyusul muncul dari balik kerumunan. Dengan tatapan penuh amarah, sorot matanya mengobarkan tarian api yang membara, seakan menahan buncah, lalu menghampiri Mbah Darto dan memukulnya dengan tangan mengepal, menumpahkan dendam yang telah lama terpendam. Begitu geram. Tanpa rasa iba sedikitpun, ia memukul Mbah Darto hingga tubuh kurusnya tersungkur menggebrak tanah. Kepalanya tercatuk batu. Berdarah. Mbah Darto mengerang dengan airmata di kedua pipinya. Darah segar pun mengalir dari kepala melewati pipinya. Seolah terlihat sedang nangis darah.

“Mbah bawa kemana kepala Tole!” bentak Lik Muji.

“Untuk apa Mbah dengan kepala cucuku itu?” jawab Mbah Darto dengan suara parau.

“Sudahlah, jangan banyak alasan lagi, pasti Mbah jadikan tumbal ilmu santet kan!”

Mendengar ucapan yang menyalak dari anaknya itu, tersentaklah hati Mbah Darto, perasaannya langsung lumpuh seketika. Ia belum siap bila harus menerima lontaran yang begitu tajam. Tidak. Ia tak akan pernah siap. Tatapannya sayu mengisyaratkan betapa semakin perih hatinya. Seperti disayat silet. Silet yang kini terjepit di antara kedua bibir Lik Muji. Bagaimana tidak menyayat hati, bila anak sematawayangnya kini begitu membencinya. Semua menganggap Mbah Dartolah yang mengambil kepala Tole. Belum lagi ia dituduh telah menggantung dan mengikat kuat-kuat leher cucunya itu pada pohon mangga belakang rumah; pastilah dibunuh, mengingat sungguh tak mungkin bila anak kecil melakukan gantung diri.

Bukan masalah itu saja. Bukan masalah fitnah; dugaan-dugaan; kabar burung orang-orang yang tak pernah jelas asal muasalnya. Sebenarnya Mbah Darto tak pernah mempermasalahkan fitnah yang dituduhkan padanya. Tapi ia tak ingin anaknya menjadi beringas terhadap ayah kandung sendiri. Tak ada dalam sejarah bila orang tua menginginkan anak-anaknya menjadi durhaka. Mbah Darto tak ingin hal itu menimpa Lik Muji.

Lik Muji, sifatnya mulai berubah ketika tiga bulan lalu Mak Rat meninggal dunia. Tak terelakan lagi perasaan kecewanya bila ternyata ibunya itu diduga mati gantung diri. Pada malam kematian Mak Rat orang-orang begitu gempar, tanah pekuburan Mak Rat mendadak rancak, seperti telah dibongkar entah oleh siapa. Dan yang lebih menyakitkan lagi, ketika orang-orang memutuskan melakukan penggalian ulang tanah pekuburan Mak Rat untuk memastikan kondisi mayatnya, alangkah terkejut bukan main bila ternyata mayat itu sudah tidak ada kepalanya.

Semenjak kejadian itu, nama Mbah Darto pun menjadi buah bibir, selalu diperbincangkan orang-orang: entah itu ketika sedang berladang, atau sepulang dari menyadap getah karet, bahkan pada perbincangan di warung-warung kopi, di jalan-jalan, di rumah-rumah warga, seolah menjadi makanan terhangat setiap hari yang tak pernah bosan dilahap. Bila ada warga yang kebetulan berpapasan di jalan dengan warga lainnya, maka yang akan ditanyakan pasti berkisar perihal Mbah Darto.

Sampeyan tahu Mak Rat? Sebetulnya bukan mati gantung diri, tapi dibunuh kemudian digantung seperti menjemur pakaian saja oleh suaminya, si Mbah Darto bajingan tua itu!”

“Jangan menyimpan prasangka, omongan Sampeyan itu masih belum terbukti juga kan?”

“Owalah dalah… Sampeyan tak percaya toh? Potong saja julur lidah ini kalau saya hanya membual!”

Atau ada juga yang seperti ini, “Malam tadi kepala mayat Mak Rat hilang karena dijadikan tumbal ilmu santet Mbah Darto loh.”

“Kayaknya sih begitu. Tak disangka, dalam hati Mbah Darto bersemayam iblis. Kejam sekali orang itu, huh!” timpal yang lain.

Begitulah. Itulah alasan kenapa Lik Muji begitu membenci Mbah Darto, dan berujung pada ketidaksudian menganggap bahwa Mbah Darto ayah kandungnya sendiri, seiring dengan merambatnya dugaan-dugaan bahwa Mbah Darto manusia berhati iblis. Hingga bagaimana awal mula gelar itu bisa melekat pada namanya: dukun santet, penjagal mayat—pencuri kepala mayat keluarganya sendiri.

***

Ada paku bersarang di dalam tubuh Wak Akom. Pagi-pagi sekali, ia menjerit meringis kesakitan, menyambat apa saja sambil menyisipkan nama Mbah Darto. Ia bilang, sepertinya ada sebuah benda tajam yang menggores-gores di dalam lambung, lalu merewet pada ulu hati serasa diremas keras-keras, pasti ini semua biang keladinya Mbah Darto, sebab kemarin malam Wak Akom sangat berantusias mengajak warga lain untuk mengusir Mbah Darto dari kampung, ketika sedang berkumpul di warung kopi dengan menghabiskan bergelas-gelas kopi hitam. Ah, mungkin saja rasa sakit itu akibat kelebihan minum kopi, Wak?

Sebulan yang lalu, selepas beribadah dari surau, Parimin selalu menyempatkan diri meludahi pekarangan rumah Mbah Darto. Tak elok bila pekarangan rumah dukun santet ditumbuhi bunga-bunga, hanya air liur atau dahak yang pantas untuk menyiram bunga itu karena akan menyebar bau jadah! Dukun santet itu hanya akan mengundang aib bagi seluruh warga kampung, kata Parimin melengos pergi. Namun setibanya Parimin di rumah dan hendak membuka palang pintu, entah penyakit dadakan apa, tiba-tiba saja ia muntah darah.

Halimah, bunga desa di kampung itu suatu kali pernah digoda oleh Mbah Darto. Setiap ia berjalan sendirian di pagi hari hendak membeli seikat sayuran, gadis cantik itu selalu dikerlingi mata Mbah Darto yang penuh hasrat. Tak tahan atas perlakuan itu, Mbok Simah mendatangi rumah Mbah Darto dengan membawa seikat umpatan, “Najis! Dasar duda tua, belum lama ditinggal mati Mak Rat, sekarang sudah mau mengawini gadis perawan ting-ting. Jangan harap anak gadisku sudi dipersunting dan melahirkan keturunan dari seorang dukun santet!” bentak Mbok Simah. Selang beberapa hari setelah kejadian itu, perut bunga desa itu pun semakin lama semakin membuncit dan terkesan akan meletus.

Kemudian dari cerita yang lain, suatu waktu Mbah Darto pernah beradu mulut dengan para rentenir, ketika itu Mbah Darto dipaksa menyerahkan rumah beserta seluruh isinya karena terjerat utang-piutang. Selain harus melunasi utang-utangnya, ia juga harus membayar beserta bunga yang telah menumpuk. Dulu perjanjiannya, bila dalam waktu tiga bulan utang-utangnya tak segera dilunasi, maka rumahnya akan disita sebagai barang tebusan.

Sudah dari dulu mereka bolak-balik menagih dan mendatangi rumah Mbah Darto. Tapi tetap tak dilunasi juga. Bukan keinginan Mbah Darto bila harus meminjam uang pada lintah darat, tapi keadaan yang mendesaknya, sebab ia hanya hidup sendiri dengan menghabiskan masa tua tanpa sebuah penghasilan. Bukankah ia sudah dibenci seluruh warga bahkan oleh anaknya sendiri sekalipun? Siapa lagi yang akan memberinya sesuap nasi selain melalui caranya sendiri, meskipun ia tahu keputusannya ini tidaklah tepat.

Tanpa rasa takut sedikit pun, Mbah Darto berani melawan para rentenir yang bertubuh kekar itu. Akhirnya mereka lari tunggang langgang ketakutan melawan Mbah Darto, sebab diancam akan membunuh mereka dengan ritual samber nyawa; membaca mantra-mantra menggunakan tumbal darah ayam hitam.

Semua warga tak ada yang berani lagi mengusik ketenangan Mbah Darto. Nyali mereka ciut takut-takut terkena guna-guna. Oh, bukan itu yang Mbah Darto harapkan, bukan pengucilan, bukan pengasingan, hanya kesepian yang akan ia dapatkan. Terkecuali bila ia sedang mengasuh Tole cucunya itu. Hanya anak kecil itu yang selalu menemani kesehariannya. Sedangkan Lik Muji, sudah barang tentu tak mau berucap sepatah kata pun pada Mbah Darto meskipun berada dalam naungan atap yang sama. Bahkan urusan makan sekalipun. Seolah meja makan terpisah menjadi dua bagian.

Ahoi, pamali itu... Bukannya membalas dengan madu setelah dulu dihidangkan susu, malah tuba yang ditumpahkan pada ayahnya. Tapi siapa yang bisa menyembuhkan penyakit hati Lik Muji yang kelewat sakit. Tatkala Lik Muji hendak mengambil air timba di belakang rumah, alangkah terkejut bagaikan disambar petir siang bolong, dengan mata kepala sendiri ia melihat sosok tubuh anak kecil yang tergantung di pohon. Tole... Lidahnya biru terjulur.

***

Suasana rumah Mbah Darto masih berkabung. Fajar menyingsing. Matahari mengintip di pucuk gunung. Tanpa mempertimbangkan waktu yang tepat atau tidak, lintah darat itu kembali menagih setumpuk utang Mbah Darto. Saat itu Lik Muji masih berada di pemakamanmenangisi; menjaga tanah pekuburan anaknya dari semalam. Hanya para tetangga yang selintas menyaksikan kembali adu mulut Mbah Darto dan para rentenir. Hingga semuanya selesai ketika para rentenir itu masuk ke dalam rumah Mbah Darto dan keluar lagi sambil mengulum senyum sinis. Rumah Mbah Darto kembali sunyi.

Pintu rumah itu masih terbuka. Hingga menjelang tengah hari, Lik Muji pulang dan berniat akan membunuh ayahnya saat itu juga. Ia ingin mengakhiri silsilah keluarganya yang mati kehilangan kepala. Tapi ia kembali dikejutkan saat setibanya di rumah, ia melihat Mbah Darto sudah tak bernyawa. Mayatnya pun tanpa kepala.

Bandung, Juni 2012

Rendra Baca Puisi - Sajak Sebatang Lisong


Sajak ini dibacakan di ITB Bandung; 17 Agustus 1977, yang merupakan salah satu adegan film "Yang Muda Yang Bercinta" karya Syumanjaya yang peredarannya dilarang...

Musikalisasi Puisi - Hujan Bulan Juni


Puisi Hujan Bulan Juni milik Sapardi Djoko Damono yang di musikalisasikan oleh Ihsan dan Hani, pada acara Diskusi Interaktif dengan tema "Untuk Apa Sastra" bersama penyair Acep Zamzam Noor di Aula Kampus UIN Bandung...

Setelah Hujan


Aku datang menemuimu menjelma hujan
Serupa tombak yang ditikam langit
O, bumi menjadi basah
Lalu mengalir sungai, yang bermuara ke hatimu

Tampaknya, diluar cuaca memberi kabar
Layung terus mendayung mendung
Yang karam dan berlabuh
Di kedua larung matamu

Hujan memang membawa derita
Buktinya, airmataku telah menjadi telaga” katamu

Kemudian, setelah hujan reda
Aku merelakan tubuhku
Hinggap
Di matamu menjadi pelangi

2012

Penyamun Anyir


SEPASANG MATA masih mengawasiku. Begitu nyalang. Tatapannya melirik tajam. Bersurukan laiknya seorang pengintai. Tak pernah terpejam. Tak lengah sepicing pun. Apalagi berpalis muka. Ada bara api mengangah pada binar matanya. Bak denyar halilintar. Menyorot merah padam. Seperti mengungkapkan amarah. Ia memperhatikanku yang berdiri di tepi jalan raya. Melucuti gerak-gerik yang aku lakukan. Sambil mengerakahi bibir sendiri, mengungkapkan kemarahannya yang tak bisa disembunyikan.
            Bukan hal aneh bagiku. Hampir setiap hari mata itu menatapku. Ia bukan seorang mata-mata. Aku pun bukan seorang yang patut diselidiki. Aku hanya seorang pengamen jalanan. Anak kecil berumur sepuluh tahun, tanpa pernah mengenal bangku pendidikan, pengamen memang cocok untukku. Sedang ia, seorang preman menyambi penjudi. Tapi sialnya, ia tak pernah beruntung dalam hal berjudi. Selalu kalah. Bila uang taruhannya habis, yang dilakukannya hanya merongrong para pengamen. Memalak uang mereka. Digunakannya untuk kembali taruhan judi kartu. Begitulah pekerjaannya.
            Sepasang mata itu milik Bang Jali, seorang lelaki separuh baya dengan tubuh yang buncit. Perawakannya pendek. Memiliki tanda gores di wajah, mulai dari pipi hingga melewati mata kirinya. Terpapar renyuk. Berkerumuk menutupi sebelah pandangannya. Luka rebak itu hasil sabetan parang, kenang-kenangan setelah perkelahian dengan preman lain. Lengkaplah sudah kengerianku padanya. Belum lagi tato kepala macan di punggungnya, sering terlihat bila ia telanjang dada menyombongkan badannya yang bidang. Ia bergaya rambut cepak seperti tentara. Padahal ia bukan tentara, meski setiap hari selalu mengenakan pakaian loreng ketat, membuat otot kedua lengannya yang mengembang terlihat jelas.
Di depan warung nasi milik Bi Inah, ia duduk bertinggung menatapku. Sebenarnya, sudah beberapa kali petugas Satol PP menyuruh mengosongkan warung itu. Katanya merusak suasana kota, atau mengganggu para pejalan kaki yang melintas, sebab lokasinya sedikit berada di atas trotoar. Di bawah warung itu mengalir air selokan, biasa digunakan Bi Inah untuk mencuci piring karena airnya memang tidak terlalu keruh.
“Bila besok ibu tidak mengosongkan tempat ini, maka kami akan meratakannya dengan tanah. Jangan salahkan kami!” ucap pamong praja yang berbadan tegap pada Bi Inah beberapa hari lalu.
“Apakah saya tidak punya hak berjualan di kota ini?”
“Bukan begitu, nanti kami akan memberi tempat yang lebih layak disuatu tempat, tentu lokasinya tidak mengganggu para pejalan kaki. Semacam tukar beli.”
            Namun nyatanya, hingga sekarang, warung nasi itu tetap berdiri di pinggir jalan. Alasannya sederhana, bila warung itu dimusnahkan, maka para preman akan melakukan perlawanan. Hingga titik darah penghabisan. Memang, tempat itu selalu digunakan oleh para preman untuk berkumpul. Mereka selalu berjudi di bangku kayu depan warung itu. Bukan hanya para preman saja, pengamen pun bila mendapat penghasilan lebih, mereka selalu memesanan makan disitu.
Hari ini langit cerah. Terik matahari meyorot panas. Di jalan, mobil-mobil tak sepenuh biasanya yang merayap macet. Sepertinya orang-orang malas untuk bepergian. Berkesiur angin merambak mengembuskan debu. Menerpa pada mata setiap orang. Dan entah berapa lama ia menatapku. Mungkin sejam lebih. Ketika pagi mulai merangkak berganti siang, ia datang menghampiriku. Menyunggingkan senyum kecut, “Heh Udin, Sudah berapa duit yang kau dapat hari ini?” tanyanya padaku. Ah, pertanyaan yang memuakkan. Pastinya uangku akan dirampas.
“Hari ini aku belum dapat uang Bang.”
“Jangan bohong! Mana uangmu? Aku ingin judi lagi!” bentaknya.
            “Beneran Bang, hari ini sepi.” jawabku.
Sudah seharian aku mengamen di jalan. Tapi baru sedikit uang yang kudapat. Bukan karena aku malas, melainkan hari ini bukan hari libur. Jalanan tampak sepi. Jarang sekali ada mobil yang berhenti di stopan lampu merah perempatan jalan Dago, tempat yang biasa aku gunakan untuk mengamen, dan aku hanya mengamen pada sebuah mobil pribadi yang berhenti menunggu lampu hijau menyala. Bila mendapat banyak uang pun, hasil kerja payahku itu, selalu dirampas olehnya dengan dalih, “Ini daerah kekuasaanku, kalau ingin tetap mengamen disini, uang hasil mengamenmu kita bagi rata.” Padahal, ia tak pernah ikut mengamen, hanya duduk mengawasi kami—maksudku, aku dan pengamen lain. Aku tidak bisa melawan meski hati menggelalar pada kelakuannya.
Ia tetap tidak percaya pada alasanku. Hingga menggeledahi kantong celanaku. Lalu menemukan setumpuk koin recehan dan beberapa lembar uang ribuan yang di simpan dalam kantong plastik—bila dihitung berjumlah sepuluh ribu—dan plaaak… tangannya mendarat di pipiku.
“Seharian mengamen hanya dapat segini? Mana cukup untuk berjudi. Kalau mau ngamenmu laku, jangan pakai kecrek, pakai alat musik lain seperti gitar, biar nantinya orang-orang memberi uang buat nyanyian ngamenmu!” katanya menyalak beringas.
Aku hanya diam tertunduk. Bila di pikir-pikir, tak ada untungnya ia hidup apabila hanya digunakan untuk bermain kartu dan berjudi bersama kawananya sesama preman. Ya, selain berjudi, pekerjaannya tak lain seorang pemalak. Maka kami selalu menyebutnya penyamun anyir. Berotot besar tapi nyali secuil, hanya berani pada anak kecil.
Lebih parah lagi kelakuannya pada Jupri, teman sebayaku yang berdagang minuman mineral dan rokok asongan di bus kota. Tiap hari rokoknya ludes, bukan oleh pembeli, melainkan dipinta paksa si penyamun anyir. Bukan hanya itu saja yang dipintanya, pernah suatu ketika Jupri diajak ke rumah si penyamun anyir, sekembalinya Jupri dari tempat itu, ia berjalan dengan keadaan lubang pantat yang menganga dan berdarah menggenangi belakang celananya.
“Heh, cepet ngamen lagi, biar dapat duit banyak malah bengong!” paksanya sembari mendorong tubuhku terpelanting ke belakang. Terjatuh. Lalu tercatuk menatap kosong. Kemudian ia mengeloyor tanpa rasa kasihan.
Kini, mataku yang balik menatapnya lekat-lekat. Menyorot tajam. Tak bisa ditahan lagi, aku menangis sesenggukan menahan amarah. Bukan tanpa alasan aku menangis seperti itu, bila ternyata uang hasil mengamenku akan digunakannya untuk berjudi. Andai saja ia seorang penjudi yang handal, mungkin uangku tidak akan diambil karena ia banyak uang hasil judinya itu. Ada sebuah pertanyaan muskil, yang suatu ketika pernah kulontarkan pada teman-temanku. Entah atau apakah doa ini salah atau tidak: aku berharap ia selalu menang dalam berjudi, supaya nantinya tidak lagi memalak. Namun jawaban mereka dari pertanyaan itu selalu menggelengkan kepala, tapi ada sebagian yang setuju.
Kedua mataku bakup sehabis menangis sembari meratap. Andai saja aku tidak dilahirkan dari seorang keluarga miskin; andai saja aku tidak ditakdirkan menjadi seorang pengamen; atau andai saja kedua orang tuaku mampu membiayai sekolahku. Tentu, tentu aku tidak bakalan berada di jalanan. Mmmm… Bukannya aku seorang anak kecil yang kemaruk terhadap permintaan. Seandainya doaku bisa terkabul, aku hanya ingin penyamun anyir itu tak lagi menggangguku.
Ah, aku ingat pada kejadian tempo hari, pada sebuah malam yang mengenaskan. Ternyata bukan hanya Jupri saja yang menjadi korban tindak cabul si penyamun anyir itu. Ia pun pernah melakukan hal serupa padaku. Mulanya ia bertindak baik dengan mengatakan akan mengantarku pulang setelah seharian mengamen, katanya takut kelelahan. Kebetulan lokasi rumahku lumayan jauh dari perempatan jalan Dago. Ketika itu aku dibonceng dengan motor RX King. Aku berpikir, ternyata ia bisa juga berbuat baik. Ups… penilaian baik dariku itu hanya sebentar. Seperti sudah direncanakannya dari awal, atau semacam tipu muslihat, ia membelokan motornya ke suatu tempat gelap, mengajakku melesap pada sebuah semak.
Oh… apa hendak di kata, terpaksa aku pulang dengan berjalan kaki merasakan pantat yang perih. Apa sebab? Setelah si penyamun anyir melakukan pencabulan di semak itu, ia tak jadi mengantarku pulang, malah menelantarkanku tanpa rasa kasihan.
Hingga sekarang, kejadian itu masih merumrum ingatanku, berkecamuk mencambuk-cambuk hatiku.
***
SIANG masih tetap panas. Matahari bulat seperti kancing baju. Semilir angin seolah menarik cuping telingaku. Tiba-tiba saja dari arah warung nasi Bi Inah, aku mendengar sekerumunan orang berteriak menyambat apa saja yang diingatnya. Ada apa? Tanyaku pada seseorang ketika aku menyeruak kerumunan itu. Belum sempat orang itu menjawab, aku melihat serombongan pamong praja sedang mengobrak-ngabrik warung nasi Bi Inah.
Penggusuran... pikirku. Tanpa rasa ampun, warung nasi yang terbuat dari bilik bambu itu hampir hancur luluh lantak. Para preman berdatangan mencoba melawan. Pengamen hanya bisa mengutuk tindak-tanduk pamong praja itu yang dianggapnya biadab. Tak lama setelah itu, seseorang keluar dari dalam warung. Bi Inah… teriakku. Tanpa segan ia membuka bajunya, telanjang bulat menghadang pamong praja dengan dada yang menantang.
“Apa-apaan ini? Hal itu tidak bisa mengubah niat kami!” tegas seorang pamong praja pada Bi Inah. “Kami sudah bilang dari dulu, ibu harus mengosongkan tempat ini!” lanjutnya.
“Tapi tempat ini sudah lama saya tempati!” jawab Bi Inah.
            Bagi aku yang berumur sepuluh tahun, aku masih belum bisa menentukan siapa yang salah mengenai peristiwa ini. Apakah Bi Inah yang berjualan di pinggir jalan, atau para pamong praja yang menghancurkan warungnya?
Usaha Bi Inah untuk mencegah orang-orang yang meenghancurkan warungnya ternyata sia-sia. Meski ia telah melakukan hal yang nekat, atau lebih tepatnya sangat ekstrim, mereka seperti tak peduli. Seluruh pamong praja terus mencoba menghancurkan warung itu. Entah dengan cara mendorong-dorong, memukul dengan martil, melempar batu, atau menginjaknya.
Namun tiba-tiba saja, dari arah lain, aku melihat salah seorang pamong praja tergeletak bersimbah darah. Apa sebab? Ketika sedang mengobrak-ngabrik warung itu,  si penyamun anyir datang dan memukul kepalanya dengan balok kayu. Setelah itu, si penyamun anyir ditangkap dan digiring ke tempat rehabilitasi.
Entahlah. Aku tidak ikut sedih dalam persoalan ini. Mungkin saja bila warung itu musnah, para preman tak mempunyai tempat lagi untuk berjudi, dan si penyamun anyir tak akan datang lagi untuk mengawasiku.

Bandung, Desember 2011