Dimuat di Haluan Padang, Minggu 15 April 2012
Lelaki buruk rupa berdiri mematung di hadapanku. Aku yakin, ia orang yang akan menjadi suamiku. Tidak salah lagi, meski baru bertemu dengannya, namun aku hapal seperti apa orang yang kelak akan menjadi suamiku. Melalui mimpi. Dalam mimpi itu, aku menikah dengan seorang lelaki berkulit hitam, kepala pelontos dengan hidung yang melesak ke dalam, belum lagi telinganya: jebang. Seperti ciri-ciri lelaki ini.
Hanya dalam mimpi, aku bisa meramal masa depan. Seolah kejadian yang
belum terjadi dalam hidup, akan tampak dalam mimpiku. Oleh karenanya, aku
sangat yakin bahwa lelaki yang sedang aku lihat ini yang akan menjadi suamiku.
Aku tidak pernah salah dalam menafsirkan mimpi. Karena keajaiban mimpi
itu, aku bisa bertemu dengannya di Stasiun Gambir. Dalam mimpiku itu
diceritakan, bahwa ia berasal dari Surabaya,
datangnya menggunakan kereta ekonomi, mengenakan baju lusuh dengan peluh
mengental di lehernya. Ternyata lelaki yang berada di hadapanku ini baru saja
turun dari kereta. Aku langsung memeluk lelaki itu seperti sudah mengenalnya.
Bagaikan seorang perempuan yang menunggu kepulangan kekasihnya yang telah lama tak
bertemu. Membuatnya terkejut mendapati dirinya dipeluk oleh perempuan yang tak
ia kenal.
“Akhirnya kita bertemu juga...” aku berteriak histeris sambil memeluknya,
“Sudah lama aku menunggumu disini.”
Lelaki itu diam sejenak memandangi wajahku, menatap lekat-lekat binar
cahaya kedua mataku yang tampak berkaca-kaca karena bahagia. Dengan sedikit
gelagapan ia tampak kikuk, “Maap, mbak kayanya salah orang, aku bukan orang
yang mbak tunggu.” katanya. Lalu dipandanginya orang-orang sekitar yang turun
dari kereta, sepertinya tak ada orang yang mirip dengannya.
“Mana mungkin aku salah!” teriakku lagi. “Apa kau tidak mengenaliku?” aku
bertanya, yang pasti jawabannya sudah dapat kutebak bila ia akan barkata, “Ya,
aku tidak mengenalmu!”
Lelaki itu kembali angkat bicara, “Aku tidak punya kenalan disini, aku
hanya perantau yang sedang liburan di kota
ini.”
Tidak. Aku tidak salah orang. Aku telah hapal wajah orang yang akan
menjadi suamiku—yang dalam mimpiku orang itu berwajah buruk rupa—dan menurutku,
hanya orang inilah yang wajahnya paling buruk diantara ribuan wajah para
penumpang kereta di Stasiun Gambir.
“Sudah mbak jangan memelukku terus, aku tidak mengenal siapa mbak,
mungkin orang yang mbak tunggu wajahnya mirip denganku?” lelaki itu kemudian
mencoba membuka eratnya pelukanku, pastinya dekapanku membuatnya merasa tak
nyaman.
“Jangan lepaskan pelukanku.” cegahku sambil terus memeluknya.
Ia kembali diam. Berdiri mematung dan menarik kepalanya kebelakang
sedikit menjauh dari wajahku. Membuat dadanya yang bidang semakin keras
menempel di dadaku. Ternyata kami memiliki tinggi tubuh yang sama. Sejajar
dengan jendela kereta. Napas yang dikeluarkan dari hidungnya begitu sangat tak
teratur. Aku tahu ia pasti sangat gugup. Mungkin baru pertama kali ini ia
dipeluk oleh seorang perempuan. Dengan wajah buruk rupa itu, mana ada orang
yang mau menjadi kekasihnya dan memeluknya erat-erat. Tapi kenyataanya
sekarang, seorang perempuan sepertiku mau memeluknya. Sekadar untuk meyakinkan
bahwa aku adalah istrinya nanti.
Tidak. Aku tidak salah memeluk orang. Kulit wajah lelaki yang sedang
kupeluk ini benar-benar hitam. Tak ada bedanya dengan warna gerbong kereta tua
yang telah berkarat. Namun bedanya,
lelaki ini masih muda meski terlihat tua. Ada tiga gerat menggumpal pada keningnya,
matanya semakin nyalang setengah terpicing, kedua bulu alisnya saling beradu,
menandakan ia mulai geram oleh tingkahku karena langsung menyambar tubuhnya itu
dengan pelukan.
Melihat gelagatnya yang mulai risih dan melakukan sedikit perlawanan, aku
kembali bertanya, “Siapa namamu?” sambil melepaskan pelukan.
“Sudah saya katakan, mbak salah orang, buktinya mbak tidak tahu nama saya
kan?”
jawabnya sedikit membentak.
“Aku belum tahu namamu, tapi wajahmu selalu ada dalam mimpiku.”
“Maksud mbak?” ia sekarang yang bertanya.
“Aku selalu bermimpi bahwa kau akan menikah denganku.” tegasku yang
dibalasnya dengan gelengan kepala.
Meski telah kujelaskan perihal bahwa aku bisa meramal masa depan melalui
mimpi, namun lelaki itu tidak percaya bila ia akan menikah denganku. Sudah
setengah jam kami berdiri berhadapan disitu, tanpa pernah menghitung berapa
kereta yang datang dan pergi dari stasiun itu, atau merasakan tatapan aneh dari
orang-orang yang lalu lalang karena melihat kami saling baradu mulut. Mungkin
dalam pikirannya sekarang hanya terfokus pada satu titik: ia ingin pergi
jauh-jauh dariku. Aku tidak akan membiarkannya kembali menaiki kereta yang akan
membawanya menghilang. Tujuanku datang kesini, hanya untuk menjelaskan pada
lelaki buruk rupa ini, bahwa ia akan menjadi jodohku. Ditambah lagi harapanku
untuk segera melangsungkan resepsi pernikahan. Namun ia selalu saja
menggelengkan kepala tanda tidak setuju.
“Aku adalah istrimu nanti,” kataku
lagi, “Di masa depan, kita adalah sepasang suami istri.”
“Berarti kita akan menikah?” ia kembali bertanya.
“Ya!” jawabku singkat sambil menyunggingkan senyum.
“Bagaimana kita akan menikah, sedangkan kita tidak pernah mengenal satu
sama lain.” jawabnya.
“Tapi aku telah mengenalmu.”
“Dimana? Kita baru bertemu.”
“Setiap malam kita selalu bertemu
melalui mimpi-mimpiku.” aku membantah.
“Mbak jangan mengada-ngada!” jawabnya dengan nada menggertak.
Aku telah mencoba menjelaskan
berkali-kali tentang ramalan masa depan yang telah kubaca, dan masa depan itu
akan bisa aku ketahui ketika sedang tidur, melalui mimpi. Mimpiku selalu
mengisahkan lelaki buruk rupa inilah yang akan menikahiku.
“Kaulah jodohku, kumohon percayalah…” aku merengek. Tetapi lelaki itu
tetap tidak percaya sambil menggelengkan kepalanya berkali-kali. Padahal, hampir
setiap malam, aku selalu bermimpi akan dinikahi oleh seorang lelaki berkulit
hitam, kepala pelontos dengan hidungnya yang melesak ke dalam, belum lagi
telinganya: jebang. Aku yakin betul mimpi itu akan menjadi kenyataan.
Sudah lama aku memiliki kekuatan meramal masa depan hanya dengan tidur
dan bermimpi. Akibat kekukatan mimpi itu, orang-orang selalu bertanya padaku,
mereka selalu bertanya entah itu masalah jodoh, bisnis, politik, bahkan masalah
kematian sekalipun. Aku bisa meramalnya. Hasilnya selalu tepat.
Tak bisa disangsikan lagi, keakuratan ramalan mimpiku memang tidak pernah
salah. Semuanya bermula ketika aku percaya bila mimpi itu bukan hanya sekadar
bunga tidur. Semuanya bisa menjadi kenyataan bila aku mempercayai mimpi itu
akan benar-benar terjadi. Bahkan seorang peramal pun bisa manfsirkan mimpi
orang-orang dengan caranya masing-masing; entah itu lewat kartu tarot, garis
tangan atau jalan cerita mimpi tersebut. Tetapi aku tidak perlu menafsirkan
mimpiku, karena cerita mimpiku tidak absurd. Semuanya mengalir begitu saja.
Jalan cerita mimpiku akan sama dengan kejadian yang akan menimpa hidupku.
Tetapi, beberapa minggu yang lalu, aku selalu bermimpi tentang jodohku.
Entah karena sebelum tidur aku selalu memikirkan siapa yang akan menjadi
jodohku. Aku selalu percaya perkataan kedua orang tuaku yang selalu memberikan
nasihat, “kamu adalah apa yang kamu pikirkan, dan bila kamu selalu memikirkan
tantang jodohmu sebelum tidur, maka kamu akan memimpikan seperti apa jodohmu
itu.” Hasilnya, setiap aku tidur, aku selalu bermimpi dinikahi seorang lelaki
buruk rupa, seperti lelaki yang sekarang ada di hadapanku. Apa mungkin dalam
lubuk hatiku, aku ingin dinikahi oleh lelaki seperti itu? Yang pasti, aku
begitu menikmati mimpi itu.
“Aku adalah istrimu nanti, kita
adalah sepasang suami istri dimasa depan.” kataku yang berjanji tak akan
mengulangi ucapan itu lagi..
“Mbak itu perempuan gila, mana
mungkin aku mau menikahi perempuan seperti mbak.”
“Kalau kau tidak percaya, tidurlah
denganku.” ajakku dengan senyum manja.
“Apa mbak seorang perek?”
“Bukan. Aku istrimu di masa depan.”
“Terserah!” katanya ketus. Ia lalu
melangkah pergi tanpa pernah menoleh ke belakang.
Usahaku untuk menjelaskan apa yang aku alami
dalam mimpi ternyata sia-sia, ia tetap tidak mempercayainya. Apakah karena aku
terlalu jujur? Sehingga ia begitu kaget dan memanggilku orang gila yang
mengada-ngada tentang apa yang aku katakan. Sebenarnya aku pun tidak ingin
dinikahi olehnya. Namun karena ini mungkin sudah ditakdirkan oleh Tuhan, atau
oleh mimpiku sendiri, maka aku tidak akan melepaskannya.
***
KEMARIN
hari yang begitu sangat menjengkelkan bagiku. Lebih tepatnya pada kebodohanku.
Kenapa aku tidak menanyakan pada lelaki itu, “Kau tinggal dimana?” atau
mungkin, “Kau mau tinggal dimana? Mungkin aku bisa mencarikanmu sebuah
kontrakan.” mengingat mimpiku semalam yang tidak begitu jelas. Aku memimpikan
lelaki itu tinggal di sebuah kontrakan kumuh yang padat penduduk. Mana mungkin
aku mengetahui tempat tinggalnya, sedangkan hampir semua kontrakan di kota ini, memang seperti
itu suasananya.
Statsiun ini masih sama seperti
kemarin. Lalu lalang calon penumpang kereta begitu menderas. Langit tetap
mendung. Guntur
menggelegar setiap dua menit sekali. Tampaknya di bulan Desember ini, musim
hujan masih belum berakhir. Begitu dingin. Merewet pada setiap kegelisahan
orang-orang. Angin berkesiur memecah uraian rambutku. Begitu juga rok mini yang
kukenakan; tergerai, terbuka setengah paha. Orang-orang sekilas menatapku.
Mungkin di benak mereka mengumpat, “Dasar wanita zaman sekarang, musim dingin
seperti ini memakai pakian seperti itu.” Ah biarkan saja, ini gaya hidupku. Tanpa rasa malu sedikitpun, aku
akan tetap mununggu lelaki itu datang lagi.
Aku masih menunggunya. Sebatang
rokok yang terjepit di mulutku hampir habis. Lipstik sedikit luntur. Tiba-tiba
dari arah jauh, seseorang mendatangiku. Wajahnya sangat kukenal. Tak asing lagi
bagiku. Dengan postur tubuh yang pendek, berwajah gelap dan kepalanya pelontos.
Aku tersadar ternyata ia lelaki kemarin.
“Akhirnya kau datang juga padaku.”
teriakku.
Lelaki itu tersenyum, “Apa kau telah
mempunyai kekasih?” aku menjawabnya dengan gelengan kepala, dan membalas
senyumnya.
“Berarti calon suami pun tak punya?”
ia kembali bertanya.
“Aku yakin kamulah suamiku!”
“Kalau begitu, aku akan melakukan
kewajiban sebagai seorang suami sekarang juga.”
Lalu, aku dibawanya ke tempat sepi.
Di bawah langit mendung, kami bergumul seperti sepasang suami istri.
Kejadiannya begitu cepat. Setelah kami mengenakkan kembali pakaian, ia lantas
melangkah pergi. Tampak terburu-buru. Setelah itu, ia menaiki sebuah kereta.
Entah kemana.
Kemudian di menit yang sama, pada
sebuah kereta yang lain, aku melihat seorang lelaki turun dari kereta. Wajahnya
buruk rupa.
Bandung, Desember
2011
No comments:
Post a Comment