Berkesiur angin nampak menggerakan daun pohon beringin yang ada di pelataran. Senja yang menguning, langit pun seperti terbelah. Tiang-tiang kayu berderet, lantai keramik putih mirip warna seragam seorang perawat yang membawa nampan perak dan membawa makanan.
Aku masih duduk di bangku kayu ruang tunggu, menanti waktu besuk tiba,
sambil melihat orang-orang dengan sejuta kegelisahan dimatanya. Sebenarnya aku
ingin bertanya, kenapa mereka tampak murung disini? Di salah satu rumah sakit
yang berdiri kokoh, bertembok putih, dengan bangunan bertingkat dua. Disetiap
kamarnya; menganga sebuah jendela terbuka, dan pintu hitam pekat. Rumah sakit
itu lokasinya berada di samping toko bunga. Namun, setiap harinya selalu tutup
karena kota
terus diguyur hujan deras, membuat bunga-bunga menjadi layu.
Aku kembali menjengukmu di rumah sakit itu, tempat yang telah lama kau
singgahi untuk melawan suatu penyakit. Kamar yang bernama ruangan melati.
Seolah nama itu mengingatkanmu pada sebuah taman bunga. Padahal kau selalu
menyebut kamar itu dengan sebutan: tempat pengantar orang mati.
Aku telah datang melewati koridor-koridor gelap di penuhi penjenguk yang
muram. Lalu aku berdiri di depan pintu kamarmu. Kau yang terlihat tengah
terbaring lemah dengan jarum infus di tangan kananmu, sebelumnya kau tak pernah
lupa untuk menyimpan sebuah biola di samping bantal tidurmu. Biola merah
sewarna darah dan kental oleh banyak kenangan, dan kau membayangkannya menjadi
batu nisan tanpa nama.
Biola itu punyaku, namun aku datang bukan untuk membawanya. Aku hanya
ingin melontarkan suatu pertanyaan, tentang perkataanmu dua hari lalu yang tak
bisa aku pahami. Namun pastinya, pertanyaanku hanya akan kau dengar sebagai
hembusan angin menggetarkan bunga melati yang menghias di samping tempat
tidurmu.
Kau pernah bilang, jangan berguru pada masa lalu, biarlah semua menjadi
kenangan, hanya sebuah sejarah yang tak perlu disesali. Tataplah masa depan.
Kau pun bilang, janganlah mengukur diri melalui cermin, seperti sama padahal
tak sama. Semuanya serba terbalik. Kanan menjadi kiri, kiri menjadi kanan, baik
menjadi buruk. Lihatlah dirimu melalui hatimu. Sesuatu yang kau yakini indah,
itulah yang terbaik. Aku pun suka keindahan. Kau tahu? Suara biola yang kau
mainkan itu begitu indah kudengar. Itulah dirimu. Biola jendela hatimu. Katamu.
Sungguh, aku tak mengerti. Apa yang pernah kau ucapkan itu sulit untuk
aku pahami. Semuanya buyar. Seperti semilir angin yang masuk ke dalam kamar,
kemudian keluar lagi melalui jendela yang terbuka. Itukah yang di maksud?
Hatiku dibiarkan tertutup dan terbuka? Ah, bukan. Tolol. Kau pun tahu aku bukan
seperti itu. Bukan juga seperti angin. Jendela takkan sanggup menahan hembusan
nafasmu, suaramu, dan kini menjelma badai yang berkecamuk di pikiranku.
Apakah pikiran dan hati itu sama?
Pikiran yang baik berasal dari hati yang baik? Aku tetap bingung. Semuanya
telah menjadi beribu pertanyaan yang menjelma gaung. Tak terjawab. Gelap. Bagaikan
duduk berjam-jam diantara bangku penonton di sebuah panggung pertunjukan.
Aku kembali teringat pada kejadian
dua hari yang lalu, waktu itu suara langkahku seperti suara detik jam. Aku
menghampirimu dengan membawa biola bermaksud untuk menghiburmu yang tengah terbaring
di rumah sakit. Aku selalu memainkannya di saat kau kesepian. Kau bilang, bahwa
aku orang yang baik, tak mungkin orang yang tak baik bisa menciptakan suara
seindah itu. Hanya orang yang mempunyai perasaan baik saja yang bisa
menciptakan keindahan. Kau sangat menyukai suara permainan biolaku. Suaranya
bagaikan menggesek bulu kudukmu, lalu menggetarkan hatimu serasa melayang
menuju sebuah titik, dan kau menyebutnya suatu tempat yang indah. Keindahan
yang keluar dari hatiku.
“Aku suka suara biolamu karena kau
selalu membawaku ke tempat yang lain.” katamu dengan tubuh yang terbaring di
kasur.
“Tapi sekarang kau sedang berada di rumah sakit.” jawabku.
“Ya, tapi bila aku mendengarkan suara biolamu, tempat ini tarasa berubah
menjadi indah. Semua itu terlalu indah bila akhirnya harus terhapus hembusan
angin. Namun angin itulah yang membawaku melayang.”
Aku hanya tersenyum. Lantas kau pun
tersenyum. Aku seolah tengah melihat bunga yang merekah pada kuntum bibirmu
yang merah. Menurutku, senyuman itulah yang paling indah. Sementara suara biola
yang kau anggap selalu membawamu melayang itu, tak lebih hanya jelmaan dari
jeritan ungkapan rasa hatiku padamu. Kau tahu? Aku tak pernah membawamu
melayang ke tempat lain. Sebenarnya aku ingin membawamu ke tempat yang lebih
indah. Menyimpanmu di hatiku, lalu kau mengukir namamu disitu, dan tetap abadi
hingga hari tua kita nanti.
Waktu itu nampaknya di luar cuaca begitu muram, setelah berjam-jam
siangnya diguyur hujan yang deras. Ketika reda di sore hari, hanya meninggalkan
angin yang liar, menenggelamkan matahari yang melayang di atas awan menguning.
Awan serupa anak tangga yang dipijaki burung-burung kuntul terbang ke arah
barat. Juga pada perasaanku yang sedang terbang mengawang ke langit tak
berujung.
Bukankah itu hal yang wajar bila aku menginginkan selalu bersamamu tanpa
batas? Ah, terlalu egois bila aku harus mengungkapkannya sekarang, meski aku
berharap kau pun merasakannya. Namun aku juga tak begitu tahu tentang perasaan
ini. Apakah perasaan ini tulus dari hati, atau hanya sekedar rasa kasihan
padamu? Lelaki mana yang mau mengajakmu pergi berkencan ke suatu bukit, sekedar
menyaksikan berakhirnya pelaminan matahari di ufuk barat. Atau menjamah bukit
dadamu di antara hembusan nafas yang membuatmu kikuk. Tubuhmu hanya diakrabi
oleh penyakit yang menggerogoti sedikit demi sedikit sisa umurmu.
Bahkan seorang dokter memvonis bahwa kau mengidap penyakit paru-paru
basah. Diagnosanya mengatakan, bahwa kau harus menjalani perawatan secara
intensif. Tentu dengan biaya tak sedikit. Entah itu harus membayar kamar
perawatan dengan harga mahal, meski tampak seperti barak pengungsian. Hingga
membeli obat atau menebus resep dari dokter. Salah satunya Etambutol
yang harus kau telan setiap hari. Menurutmu tak ada bedanya dengan mengunyah
permen, karena tak mengubah apa-apa pada penyakitmu.
Kau berpikir hanya orang beruntung saja yang bisa terhindar dari ajal yang
dibawa penyakit itu. Bibirku bergetar, rasanya begitu berat ludah mengalir di
tenggorokanku, seperti ada yang mengganjal. Aku merasa jakunku menjadi sebesar
bola sepak yang ditendang keras oleh seseorang. Aku tak bisa berkata, tak tahu
harus bicara apa. Dari matamu ada sebuah isyarat yang tak pernah menampakan
rasa takut sedikitpun. Mungkin kau telah siap bila harus meregang ajal oleh
penyakit itu. Namun, tetap saja hujan di matamu tak bisa kau cegah hanya dengan
segurat senyuman.
Hanya dengan sebuah isyarat sederhana itu saja, kau bisa membuatku
berpikir. Ternyata hidup ini tak ada bedanya dengan duduk di gerbong kereta tua
berkarat yang menuju sebuah lorong kelam, dan berhenti pada setasiun terakhir.
Semua orang takkan bisa hidup kekal, tapi perasaanku padamu akan tetap abadi.
Setiap hari aku selalu menemanimu yang
terbaring di rumah sakit. Suatu tempat yang bisa membuat orang sakit menjadi
tambah sakit. Dan setiap hari itu pula, aku selalu memberimu dorongan untuk
tetap semangat menjalani hidup.
“Hidup ini penuh misteri, hari ini tentunya berbeda dengan kemarin, besok
atau lusa pun belum tentu seperti sekarang. Jangan terlalu memikirkan sesuatu
yang belum jelas!” kataku. Namun jawabanmu berbeda dengan apa yang aku
pikirkan. “Bukankah kita hidup untuk sekarang dan masa depan? Aku harus
bersiap-siap sekarang bila akhirnya aku harus mati besok!”
Itulah sebabnya mengapa hidupmu secepat lesatan selongsong peluru. Aku
justru lebih memilih membiarkan masa depan tetap menjadi misteri. Bukankah kita
tidak mengetahui kapan kematian akan datang menjemput? Ketimbang memikirkan
sesuatu hal yang entah, lebih baik berdiam di belakang peluru itu, namun tetap
menelusuri kemana arahnya, supaya tak pernah menembus jantung. Hidup bukan
ramalan.
“Kau jangan patah semangat hanya
karena hidupmu akan berakhir. Bukankah Itu belum tentu terjadi? Bila memang kau
selalu hidup untuk mempersiapkan masa depan, mengapa sekarang malah berdiam
diri serasa putus asa!” kataku yang mencoba mengingatkanmu.
“Biarlah hidupku berakhir, aku lelah bila harus menjalani hidup dengan
penderitaan!” jawabmu sambil berbaring memandang langit-langit kamar. Mungkin
disitu kau sedang menghayal, menggambar bunga layu menjadi mekar.
“Kau jangan berkata seperti itu, masih banyak yang harus kau kerjakan,
apakah kau sudah merasa impianmu telah terpenuhi?” kataku. Lalu kau menjawab:
“Impianku sekarang hanya ingin kau selalu di sini, aku ingin terus
mendengarkan suara biolamu yang indah,
sebelum aku dijemput ke tempat yang lebih indah. Surga!”
Aku lalu menghardik perkataan itu, “Hentikan! Kau bicara apa!” sambil
menusukkan sorot tatapanku ke matamu.
“Aku hanya ingin bilang, lupakanlah aku yang pernah hadir di masa lalumu,
tataplah masa depan.” Sambil membalas tatapanku, lalu kau melanjutkan, “kita
terlahir dari sesuatu yang tiada dan akan kembali pada ketiadaan itu sendiri!”
Diam. Aku bengong. Aku tak ingin semuanya menjadi kenyataan. Sebab
berpisah denganmu adalah kematian bagi hidupku. Sebelumnya aku telah berjanji
akan terus menjagamu, menemanimu setiap waktu, memberikan sesuatu yang terbaik
padamu. Bahkan ketika kau memintaku untuk memainkan biola pun aku penuhi, meski
waktu itu kau sedang tertidur, sekedar pengantar mimpi indahmu. Ketika kau
benar-benar terlelap, aku mengecup keningmu, kemudian aku keluar dari kamar
tempat kau dirawat, sekadar untuk mencari angin segar dan pulang ke rumah
dengan meninggalkan biola bersamamu.
Sudah dua hari aku tidak menjengukmu, atau menanyakan kondisi
kesehatanmu. Sekarang aku kembali datang dan berdiri di pintu kamarmu, setelah
berjam-jam duduk di bangku kayu ruang tunggu memikirkan ucapanmu di waktu yang
lalu. Tentang menatap masa depan? Tetapi ingin mati? Bukankah itu pemikiran
yang tidak mempunyai harapan di masa depan? Sudahlah, aku tak tahu. Yang aku
tahu sekarang, kematian datangnya lebih cepat dari hembusan angin. Kau tahu?
Dua hari yang lalu ketika aku hendak pulang setelah menjengukmu, ternyata
kematian lebih dulu menjemputku dengan cara mobil yang aku kendarai tertabrak
bus oleng yang salah mengambil jalur pembatas jalan disebabkan supirnya
mengantuk.
Tubuhku remuk, ruhku dituntun malaikat bersayap melayang ke suatu tempat
yang indah, namun hatiku tetap kusimpan di dalam biola itu beserta ucapanmu
yang akan aku tanyakan di suatu hari nanti, di tempat yang paling indah. Surga.
Bandung, Agustus 2011
No comments:
Post a Comment