Buya, gerat keriput mukamu, seperti jalan terjal nan retak
O, yang memberi petunjuk hidup
Telah ku khatamkan logat bahasa bibirmu
Terkatung di ufuk lidahmu yang lentur
Bunyi lisan sehalus dawai angin
Adalah syafaat dari Ilahi
Sepertinya aku kembali mengingat percakapan itu
Dialek kudus begitu kental di telingaku
Ajaran sufi yang sangat fatal
Di peradaban paling suci
Di tempat itu, aku sangat menikmati tarian daun pohon sukun
Melayang jatuh di alas kakimu
Disitulah aku selalu menjilati jejak langkahmu
Saat musim kemarau yang panjang
Aku rindu cipratan air sucimu
Sebening embun fajar di daun sejadah
Saat itulah dinding matamu memancarkan sinar pagi
Menjadi cahaya dalam tajug suci
Mengarah kiblat
Ku telusuri punggung sujud paling khusuk
Begitu membungkuk di tubuhmu yang renta
Pantulan marmar tercermin aura wajahmu
Lalu, ku namai kau sang pewaris nabi
Setelah tiga tahun singgah di tempat itu
Terjadilah perpisahan sederhana
Dan berakhirlah pemujaanku
Sekarang, ku awali pengembaraan baru
Tiba-tiba aku menjelma sebagai pendosa
Mizan yang menimbang hampa langkahku
Keagungan maghrib kini luntur di darahku
Menjadi pekat melebihi sayap gagak
Membuat awan kelabu hatiku
Melaju pada lukisan senja yang murung
Kini batu Ababil telah menancap tamat di keningku
Melupakanmu adalah jalan yang sesat
Pengembaraanku yang berujung luka
Terlalu memuja tarian api
Kini terbakar di tubuhku
Aku bagaikan rengekan bayi Ismail
Tergeletak panas di padang arafah
Namun akan ku cari mata air suci
Sekarang aku ingin kembali meneguk aroma nafasmu
Sebab aku yakin kau fasih melafadzkan tasbih
Begitu khidmat!
Pemberi bai’at bagi aku yang bertaubat
2011
No comments:
Post a Comment