Hukuman Negeri Pasir

Sulastri. Gadis muda dengan penuh lebam biru disekujur tubuhnya, bahkan wajahnya, bekas tanda siksaan dari majikannya. Seperti pertanda maut akan datang. Benar sekali, ia terpaksa terus berlari. Berlari dari siksaan yang menimpanya. Walau sesekali berhenti. Tangannya mencengkram kedua lutut. Mengatur nafasnya yang terengah-engah. Wajahnya menengok ke belakang, sepertinya maut tak henti-henti mengejar. Entah dikejar maut atau ia mendekati maut, yang jelas, setelah ia membunuh majikannya yang hendak merampas kehormatannya, ia tak henti diselimuti rasa bersalah. Takut, takut mati. Diadili oleh Algojo yang siap memutuskan lehernya. Memisahkan kepala dari tubuhnya. Hukuman pancung di Negeri Pasir.

Sebenarnya, datang kesini, menjadi seorang budak di Negeri Pasir memang perlu keberanian. Apalagi sekarang marak pemberitaan di televisi atau surat kabar yang menceritakan tentang para TKI yang disiksa oleh majikannya, bahkan hingga diperkosa. “Ah, mudah-mudahan saja nasibku tidak senaas mereka.” Gumam Sulastri.

Memang, awal datang ke Negeri ini, hidupnya jauh dari penderitaan. Ia merasa bahagia. Apalagi dipertemukan dengan majikan yang begitu menyayanginya. Menggantungkan hidup pada sebuah keluarga kecil, menetap bersama mereka menjadi pembantu rumah tangga. Keluarga itu memperlakukan Sulastri seperti keluarganya sendiri, walau terkadang ia begitu risih pada kebaikan yang begitu berlebih padanya. Apa yang dilakukan oleh Tuan Abi, majikan lelakinya, seperti memperlakukan Sulastri seperti istrinya sendiri.

Keluarga itu, Tuan Abi dan Istrinya, sejak dulu hanya hidup berdua tanpa kehadiran anak. Mungkin Tuhan belum mempercayai mereka dengan memberikan keturunan yang akan terus mengisi silsilah dari keluarga terdahulunya. Atau memang tidak akan pernah diberi oleh Tuhan. Pasalnya, umur anggota keluarga itu sudah tidak memungkinkan lagi untuk menciptakan keturunan. Istri Tuan Abi sudah tidak muda lagi. Berbeda dengan Sulstri yang masih muda dan tentunya bisa memberikan apa yang Tuan Abi inginkan. Mendapatkan keturunan.

Sulastri baru tersadar, ternyata sudah lama keluarga itu tidak akur. Mungkin Tuan Abi kecewa terhadap Istrinya yang mandul. Tidak bisa memberikan keturunan untuknya. Dia tidak mau silsilah keluarganya terputus hanya karena salah memilih seorang Istri. Walau bisa di bilang usaha mereka begitu gigih dengan memanfaatkan waktu malam hari berdua di kamar dengan suasana seperti waktu berumur muda, atau memeriksakan kesehatan kesuburan mereka. Semuanya sia-sia, tak membuahkan hasil.

Namun, setelah kehadiran Sulastri, pembantu rumah tangga keluarga itu. Tuan Abi seakan melihat kehadiran seorang anak yang akan diberikan oleh Sulastri. Pernah suatu hari, ketika Sulastri hendak tidur setelah seharian lelah bekerja membersihkan lantai, pergi belanja ke pasar, menyiapkan hidangan makan malam, dan mencuci piring, Tuan Abi datang ke kamar Sulastri dengan mengendap-ngendap. Mata lelaki tua itu seperti melucuti tubuh Sulastri, seperti ingin menelanjanginya. Akan tetapi, Sulastri menolak untuk berbuat lebih jauh, mengingat begitu baik perlakuan Istri Tuan Abi padanya. Ia tidak ingin membalas kebaikan Istri Tuan Abi dengan pengkhianatan, dan ia pun tidak ingin memberikan kehangatan tubuhnya pada lelaki yang bukan suaminya. Namun, penolakan itu dianggap penghinaan oleh Tuan Abi.

“Kau pikir siapa dirimu?”

“Maap Tuan, aku tidak berani. Apa jadinya bila Tuan Istri mengetahui ini!” Sulastri menolak.

“Aku sudah kecewa padanya. Aku hanya ingin keturunan. Apa itu salah?”

“Aku bukan istrimu Tuan, tidak berhak memberikan keturunan untuk Tuan. Aku hanya pembantu di rumah ini, tidak lebih!”

Tuan Abi hanya diam. Kikuk. Gairahnya seakan habis ditelan oleh penolakan yang diucapkan Sulastri. Hanya kecewa yang didapatkannya. Namun usaha Tuan Abi untuk mendapatkan kehangatan tubuh Sulastri -menciptakan keturunan- tidak sampai disitu saja, hingga berkali-kali, bahkan puluhan kali dicobanya. Tetap saja hasilnya Sulastri menolak.

Kesabaran Tuan Abi pun habis. Se-habis gairahnya. Yang dirasakannya sekarang hanya kecewa, geram, dan dendam. Akhirnya kesemua itu dilampiaskan pada Sulastri dengan menyiksanya. Yang asalnya disayangi, berubah menjadi siksaan yang di dapatkan Sulastri. Tiap hari, Sulastri harus merasakan lemparan tangan Tuan Abi di pipinya, atau cambukan ke tubuhnya. Semua itu dilakukan tanpa sepengetahuan Istri Tuan Abi. Hingga akhirnya Tuan Abi mengancam Sulastri: Bila dia tidak memberikan tubuhnya maka siksaan akan terus dirasakannya tiap hari.

Semua ancaman dan siksaan, tidak merubah hati Sulastri untuk tetap menolak. Walau terkadang dia gamang; Apa salahnya balas jasa untuk tuannya, untuk keharmonisan keluarga kecil itu, untuk menghadirkan seorang anak yang nantinya akan meramaikan suasana rumah tuannya. Ah, tidak. Pikirnya. Dalam pikirannya dia teringat kedua orang tuanya di kampung.

“Tri, kita memang dari keluarga miskin, bukan berarti kita harus menjual harga diri dengan sangat murah” ucap orang tua Sulastri.

“Tri mengerti bu, hanya itu satu-satunya yang kita punya. Harga diri!”

Dulu, sebelum ia memantapkan hati menjadi seorang TKI di Negeri tempat para Nabi di lahirkan, hidupnya di kampung memang tidak bisa memberi jaminan mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan banyak uang. Ia ingin merubah derajat keluarganya yang miskin. Apalagi dirinya terlahir menjadi anak sulung dari delapan bersaudara. Orang tua Sulastri tidak mempunyai banyak uang untuk membiayai pendidikan seluruh anaknya. Sekarang pun biaya untuk mendaftarkan masuk ke tingkat Sekolah Dasar saja bisa mencapai jutaan rupiah. Cukup untuk merogok saku yang kering menjadi tambah kering. Oleh karena itulah Sulastri meminta izin kepada kedua orang tuanya untuk mencari pekerjaan di Negeri Seberang. Dan berjanji akan menyisihkan sebagian upah hasil kerja dan mengirimkan untuk biaya pendidikan adik-adiknya.

Sudah hampir enam bulan Sulastri pergi dari kampungnya. Namun hanya dua bulan ia mengirimkan uang untuk orang tuanya. Setelah itu, kabar Sulastri pun raib. Hilang ditelan bumi. Seperti mentari yang menyinari bumi setengah hari, kemudian pekat. Akhirnya orang tua Sulastri pun hanya bisa berharap anak gadis pertamanya itu baik-baik saja. Biarkan masalah mengurusi ketujuh anak yang lain tidak mengharap dari Sulastri, kakaknya. Ibunya punya cukup tabungan dari hasil buruh cuci dari tetangganya, atau ketujuh adik Sulastri mencoba berjualan buah-buahan di sekolahnya hasil panen di kebun.

Ibunya tidak tahu bahwa sebenarnya Sulastri tidak mengirimkan uang karena ia tidak diberi upah sama sekali oleh Tuan Abi. Hanya siksaan yang didapatkannya; cambukan, pukulan, dampratan, atau hingga kulit mulus Sulastri sempat akan di setrika oleh Tuan Abi. Itu pula yang menyebabkan Sulastri hendak mencoba binuh diri dengan cara gantung diri. Entah karena ia sudah tak tahan dengan kesakitannya atau depresi berat, yang jelas bunuh diri lebih baik daripada hidup tersiksa. Piker Sulastri. Untungnya ada Tuan Istri yang menggagalkan aksi nekat itu.

“Apa yang kamu pikirkan? Mencoba menjadi Tuhan dengan melakukan sesuatu yang justru adalah kehendak Tuhan?”

“Apa itu Tuhan? Aku sudah tidak percaya! Dia sudah tidak lagi melindungiku!”

“Ada apa dengan dirimu? Bukankah kami baik padamu?”

“Kami? Mungkin hanya anda saja. Tidak pada suamimu!”

“Memangnya kenapa dengan suamiku? Bukankah ia baik padamu? Kau sepertinya depresi.”

“Ah, lupakan saja. Mungkin aku hanya depresi, nyonya. Lupakanlah.” ucap Sulastri sambil tersenyum.

Ketika itu, Sulastri tidak tega menceritakan perihal kelakuan Tuan Abi yang sebenarnya, ia tidak mau Tuan Istri kecewa dan marah. Takut dilampiaskan pula pada dirinya. Sulastri hanya bisa tersenyum lirih, namun hatinya menangis. Ia kembali gamang; Apabila ia cerita pun pasti Tuan Istri akan menyebut dirinya wanita murahan, perebut suami orang, pengganggu rumah tangga orang, atau bahkan pelacur. Hanya Tuan Istri yang baik padanya saat ini, di Negeri yang jauh dari kampung halamannya. Lebih baik membiarkan Tuan Istri mengira Tuan Abi baik padanya, tidak pernah berniat memperkosanya. Semoga itu hanya mimpi.

Akhirnya mimpi buruk itu terjadi, ketika keadaan rumah sedang kosong, kebetulan Sulastri sedang menyiapkan makan malam di dapur. Saat itu tanpa di duga sebuah tangan yang kasar menggerayangi tubuhnya, terasa sebuah bibir menancap di tengkuknya. Ada perasaan geli saat itu, nikmat yang tak tertahankan. Namun setelah ia melihat kebelakang, ternyata Tuan Abi berdiri tepat di punggungnya. Persetan. Teriak Sulastri.

Mereka berdua kalap, sama-sama di kuasai nafsu, namun Sulastri bernafsu untuk membunuh Tuan Abi. Dengan tubuh yang lemah, tidak sebanding dengan perawakan Tuan Abi yang kekar dan dadanya dipenuhi bulu, yang ia bisa hanya menangis dan memohon ampun ketika ia disiksa dengan pukulan karena menolak permintaan nafu setan Tuan Abi. Tubuh mereka setengah telanjang, tampak dari sorot tatapan mata lelaki tua itu ingin segera menuntaskan apa yang telah lama ini tertahan. Sulastri berteriak sambil menyebut nama Tuhan, mungkin ia ingin mengingatkan Tuan Abi bahwa perbuatan ini di haramkan Tuhan. Atau ia akan membunuh Tuan Abi atas nama Tuhan. Di dapur itu, ia menemukan pisau dapur yang selalu digunakannya untuk memotong daging, namun kali ini pisau itu telah digunakannya untuk menusukan pada leher Tuan Abi. Setelah itu Tuan Abi mati seketika dengan neraka dimatanya.

Setelah kejadian itu, akhirnya Sulastri di bekuk oleh hukun Negeri itu. Istri Tuan Abi meminta pertanggung jawaban, ia meminta kepada raja Negeri itu untuk mengadili Sulastri, ia ingin keadilan, mungkin hukum pancung pantas untuk Sulastri.

“Mungkin hukuman pancung yang pantas baginya, bagi wanita pembunuh!” teriak Istri Tuan Abi.

“Namun ia bukan dari Negeri ini, ia berasal dari Negeri jauh, harus ada kesepakatan.”

Keadilan? Dimana letak keadilan disini? Bukankah aku membunuh untuk mempertahankan diri? Ah, dimana Tuhan? Raja dari segala raja Negeri ini? Dunia ini? Bisik Sulastri dalam hati. Dipikirannya sekarang ia ingin kembali ke Negerinya, kampung halamannya, bertemu orang tuanya, seluruh adik-adiknya. Ia ingin pergi dan kabur dari sini. Berlari, menuju sebuah tempat yang menurutnya kedamaian, bukan menemui Tuhan.


Bandung, Juli 2011

No comments:

Post a Comment